Monday, August 23, 2004

Salim tak pernah jadi dokter

…Anak muda itu ingin sekali pergi ke negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, gaji ayahnya cuma F-150 sebulan. Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8.000 gulden. Bila tidak mungkin, kami akan berterima kasih seandainya Salim dapat menerima jumlah 4.800 gulden yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain…

Kartini menulis surat di atas karena ia tetap ingin ada anak negeri yang dapat melanjutkan sekolah ke Belanda, meskipun itu berarti Kartini terpaksa melepaskan keinginan pribadinya untuk meneruskan pendidikan tinggi –sebenarnya alasan utama adalah isu domestik-.

Tapi Salim tidak pernah mengambil tawaran tersebut. Karena baginya pengalihan beasiswa itu adalah sebagai “belas kasihan” yang tidak pada tempatnya. Ia hanya bersedia sekolah ke Belanda kalau beasiswa tersebut memang diperuntukkan bagi dirinya. Ia menolak.

Tentu saja Salim tidak pernah tahu bahwa keputusan yang ia ambil pada saat itu merupakan sesuatu yang amat penting dan berpengaruh terhadap sejarah pergerakan politik Indonesia.
Indonesia mungkin tidak akan pernah punya intelektual muslim sebesar Agus Salim!

Sewaktu kuliah, saya memilih jurusan yang tidak punya nilai jual di pasaran kerja. Ayah saya pun keberatan akan pilihan saya.
Bagaimana nanti ketika saya harus terjun ke dunia kerja?
Saya sendiri tidak bisa menjawabnya waktu itu.
Tapi...entahlah. Saya yakin sekali bahwa saya tidak akan kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Dan setelah lulus dengan nilai standar, saya -seperti yang lainnya- melamar kesana kemari.
Memang, proses ketika itu cukup panjang.
Ketika saya mencoba mengirim aplikasi ke perusahaan minyak, saya sama sekali tidak terpikir akan jenis pekerjaan yang dilakukan nantinya.
Saya hanya tahu bahwa saya masuk kualifikasi untuk syarat administrasi.
Dan ternyata -mungkin karena doa orang tua- saya diterima.

Tapi setelah tahun pertama dan melihat proses recruitment pegawai pada tahun kedua, saya terkejut.
Karena pegawai yang diambil tidak ada yang dari jurusan saya.
Saya mencoba mengambil sequence of time pada proses perekrutan saya sendiri.
Ternyata pada waktu itu ada seorang direktur yang berasal dari jurusan science, sama seperti saya.
Dan pada tahun ini, bapak itu sudah tidak menjadi direktur di company saya melainkan dipromosikan untuk menjadi salah satu komisaris group.
Mungkin saja direktur tersebut mempunyai pengaruh pada proses perekrutan angkatan saya!
Wah. Saya tidak sadar bahwa saya beruntung.
Karena tentu saja penghasilan saya di company ini jelas lebih baik dari perusahaan sebelumnya.
Tidak bisa terbayang apabila saya terlambat setahun atau terlalu cepat setahun pada waktu itu.
Tak hentinya saya bersyukur kepada Tuhan akan semua ini.

Benar, Salim tak pernah jadi dokter.
Tapi keputusannya menolak beasiswa pemerintah Belanda itu telah menjadikannya sebagai salah satu bapak bangsa.
Bukankah itu lebih berarti??

0 Comments:

Post a Comment

<< Home